(Opini) Fanatisme: Kebenaran Bukan Hanya yang Ada di Kepalamu
Di tanah ini, di mana laut memeluk ribuan pulau, angin menghembus sepoi pada setiap jiwa yang tersesat dalam kebebasan tak terkendali. Fanatisme tumbuh liar, seperti ilalang di musim kering, menyuburkan hati yang penuh amarah, menggantikan logika dengan bara yang terus membakar. Di bawah langit yang seharusnya damai, tanah ini menyaksikan jiwa-jiwa anarkis yang tak pernah mengenal diam, berteriak dalam keyakinan tunggal mereka, mencari kemenangan di antara reruntuhan rasa kemanusiaan. Di sinilah, tempat keyakinan bersemayam dengan nyala api yang tak pernah padam, seseorang seringkali menobatkan kebenaran pada satu singgasana tunggal di kepalanya, ironi.
Fanatisme, satu kata lantang yang seakan menabuh genderang perang “bunuh mereka yang tidak setuju denganmu!”. Ia tumbuh di antara barisan keyakinan kolektif, menjalar seperti sulur ghaib, memenuhi jiwa dengan kebanggaan yang buta akan keragaman pandang. Di bawah naungannya, segala yang berbeda menjadi bayang-bayang yang tidak dikehendaki, dan setiap suara yang mencoba menyuarakan perbedaan itu terhimpit, seolah-olah mereka adalah suara-suara asing yang tak layak dihiraukan.
Kebenaran, dalam pandangan seorang fanatik, adalah pilar yang kokoh, tak boleh disentuh apalagi dipertanyakan. Seperti patung dewa kuno, ia ditempatkan di atas altar suci dan disembah tanpa henti, dijaga dengan ketat oleh keyakinan yang tak mengenal kompromi. Tidak ada ruang untuk keraguan, tidak ada celah untuk refleksi. Fanatisme melahirkan dinding-dinding tak kasat mata, memisahkan dunia menjadi "kami" dan "mereka”. Kata "kami" melambangkan yang benar, yang suci, yang tahu. Sementara "mereka" adalah kebohongan, kesesatan, ketidaktahuan. Ini adalah tragedi besar dalam kehidupan manusia pemahaman bahwa kebenaran bisa dikurung dalam kepala satu orang, atau kelompok kecil yang berteriak paling lantang.
Benar, apa yang telah termaktub dalam Al-Quran,
كُلُّ حِزْبٍ ۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“Setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing)”.
Dalam Kitab Zahrotut-Tafaasir halaman 5084, Imam Muhammad Abu Zahrah mengatakan, “Setiap kelompok akan menjadi fanatik dan berbahagia atas kelompok sendiri. Mereka menganggap dirinya dalam kebenaran, padahal bisa jadi mereka ada dalam kesesatan. Mendukung (dengan berlebihan) satu pemikiran akan menyebabkan fanatisme. Fanatisme menyebabkan tuli dan buta (terhadap kebenaran)”.
Padahal kebenaran hadir dalam ragam pandang, tak terkurung dalam satu bentuk yang tetap. Ia berlapis-lapis, kadang tersembunyi di balik keraguan, kadang muncul dari pikiran yang hening. Kebenaran bukanlah batu beku yang tak tergoyahkan, melainkan aliran sungai yang menyesuaikan diri dengan waktu dan sudut pandang yang mengamatinya.
Perbedaan merupakan rahmat, kebenaran bisa datang dari arah yang yang tak terduga.
خذ الحكمة ولو خرجت من دبر الكلب
"Ambilah hikmah walau keluar dari dubur anjing".
Jika yang keluar dari dubur ayam adalah telur, maka ambillah. Namun, jika yang keluar dari mulut pemuka agama adalah caci-maki, maka buanglah. Begitulah kiranya, kita adalah backpacker yang mengemban tugas untuk mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Kebenaran bukan hanya yang ada di kepalamu.
Penulis: Imam Satria
Mahasiswa Prodi S1 Pendidikan Agama Islam, PLP di SMA N 7 Yogyakarta